Ringkasan dari tulisan Ugi Suharto

Hermeneutika, yang meminjam perkataan Inggris hermeneutics, bukan merupakan  suatu istilah netral yang tidak bermuatan pandangan hidup (World-view), apabila perkataan ini dikaitkan dengan Al qur’an atau biblical studies , arti hermeneutika telah berubah dari pengertian bahasa semata menjatadi istilah yang memiliki makna tersendiri . perpindahan makna hermeneutika dari pengertian bahasa kepada pengertian istilah merupakan satu perkembangan kemudian. Sumber sumber perkamusan sepakat bahwa peralihan makna istilah itu dimulai dari usaha dari para ahli teologi Yahudi dan Kristen dalam mengkaji ulang secara kritis teks- teks dalam kitab suci mereka.

Mengapa dengan hermeneutika itu para teolog tersebut bertujuan mencari  nilai kebenaran Bible?, jawabnya adalah karena mereka memiliki sejumlah masalah dengan teks teks kitab suci mereka , mereka mempertanyakan apakah secara harfiah Bible itu bisa dianggap Kalam Tuhan atau perkataan manusia, aliran yang meyakini bahwa lafaz Bible itu kalam Tuhan mendapat kritikan keras dan dianggap ekstrim dalam memahami Bible. Adanya perbedaan pengarang itulah yang menyebabkan Bible tidak bisa dikatakan Kalam a perluTuhan ( the World of God ) secara harfiah.Mereka hampir sepakat bahwa Bible secara harfiahnya bukan Kalam Tuhan. oleh sebab itu mereka merasa perlu untuk membaca Bible ” betwen the line “demi memahami firman Tuhan yang sebenarnya. Disinilah peranan hermeneutika dalam membantu memahami Bible bagi para teolog Kristen.

Keadaan ini berbeda dengan kaum Muslimin , yang bisa memahami Kalam Tuhan dari Al qur’an baik ” on the line ” ataupun ” between the line ” , kaum muslimin sepakat bahwa Al qur’an itu adalah Kalam Allah yang ditanzilkan kepada Rasulullah  Muhammad SAW . Kaum Muslimin juga sepakat bahwa secara harf Al qur’an itu dari Allah , juga kaum muslimin sepakat membaca Al qur’an secara Harfiah adalah ibadah dan diberi pahala , menolak bacaan harfiah adalah kesalahan , membacanya secara harfiah dalam sholat adalah syarat , dan memahami Al qur’an secara harfiah juga dibenarkan , sementara terjemahan Harfiah dan alih bahasanya tidak dikatakan sebagai Al qur’an . Ibnu Abbas misalnya pernah menyatakan bahwa diantara pemahaman Al qur’an itu ada sejenis tafsir yang semua orang dapat memahaminya ( la ya’dziru ahad fi fahmihi ), pemahaman yang seperti ini sudah tentu merujuk pada pemahaman lafaz harfiahnya.oleh sebab itu kaum muslimin , berbeda dengan Yahudi dan Kristen , tidak pernah merasa bermasalah dengan lafaz lafaz harfiah Al qur’an.

Perbedaan selanjutnya adalah, bahwa bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dengan bahasa asalnya . bahasa asal bible adalah Hebrew untuk perjanjian lama, Greek untuk perjanjian baru dan Nabi Isa sendiri berbicara dengan bahasa Aramaic . Bible ini kemudian ditejemahkan keseluruhannya dalam bahasa Latin, lantas ke bahasa bahasa Eropa yang lain seperti Jerman, Inggris, Perancis dan lain lain termasuk bahasa Indonesia, yang banyak mengambil dari Bible Bahasa Inggris .oleh sebab itu dengan ketiadaan bahasa asal Bible pada hari ini , maka wajarlah kalau para Teolog Yahudi dan Kristen mencari jalan dab metodologi untuk memahami kembali Bible melalui hermeunetika . menurut Schleiermacher diantara tugas heurmeneutika itu adalah untuk memahami teks ” sebaik atau lebih baik dari pada pengarangnya sendiri’ , maka wajarlah apabila Bible yang dikarang oleh banyak orang itu memerlukan Heurmenetika untuk memahaminya dengan cara yang lebih baik dari pengarangnya sendiri.        

Adapun Al qur’an , bagaimana mungkin terpikir oleh kaum muslimin bahwa mereka dapat memahami Al qur’an lebih baik dari Allah swt atau Rasulullah saw, oleh sebab itu , dalam upaya pemahaman yang lebih mendalam mengenai Al qur’an , kaum muslimin sebenarnya hanya memerlukan tafsir dan bukan heurmeineutika , karena kaum muslimin telah menerima kebenaran harfiah Al qur’an sebagai Kalam Allah.kalau diperlukan pemahaman yang lebih mendalam lagi, contohnya untuk ayat ayat yang mutasyabihat , yang diperlukan adalah ta’wil. Perlu ditegaskan bahwa dalam tradisi islam, ta’wil juga tidak sama dengan hermeunitika, karena ta’wil mestilah berdasarkan dan tidak bertentangan dengan tafsir , dan tafsir berdiri di atas lafadz harfiah al qur’an . jadi sebagai suatu istilah ta’wil dapat berarti pendalaman makna (intensification of meaning) dari tafsir.

Al jurjani ( w. 816/1413 ) misalnya , dalam kamus istilah yang terkenal , kitab al – Ta’rifat menyatakan hubungan makna tafsir dan ta,wil sebagai berikut:

Ta’wil secara asalnya bermakna kembali, namun secara Syara’  ia bermakna memalingkan lafaz dari maknanya yang zahir kepada makna yang mungkin terkandung di dalamnya, apabila makna yang mungkin itu sesuai dengan ( semangat ) Kitab dan Sunnah . contohnya firman Allah ” Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati  ( al anbiyak 59 ) apabila yang dimaksud disitu adalah mengeluarkan burung dari telur maka itulah tafsir . Tetapi apabila yang dimaksud disitu adalah mengeluarkan  orang beriman dari orang kafir , atau orang yang berilmu dari orang yang bodoh , maka itulah Ta’wil.

Dari keterangan diatas jelaslah bahwa Ta’wil itu lebih dalam dari tafsir ,  dan tafsir itu  berdasarkan kepada makna zahir lafaz harfiah ayat ayat Al qur’an . walaupun ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama’ mengenai makna tafsir dan ta’wil , namun mereka tidak pernah mempersoalkan teks Al qur’an sebagai Kalam Allah. tegasnya ” textual critism ” untuk Al qur’an tidak ada dalam tradisi islam. oleh sebab itu dalam hal ini , tetap tidak dapat disamakan antara tafsir dan takwil dengan heurminitika yang berangkat dari ” textual criticim ” pada Bible. Sebuah buku Hermeuniutika terbitan Kanisius Yogyakarta , misalnya sempat menyamakan Al qur’an dengan Bible dan kitab agama yang lain , dan menyatakan bahwa tafsir sama dengan hermeuniutika.

Disiplin ilmu yang pertama yang banyak menggunakan hermeuneutika adalah ilmu tafsir kitab suci. sebab semua karya yang mendapat inspirasi Ilahi seperti Al qur’an , kitab Taurat, kitab kitab veda dan Upanishad supaya dapat dimenegrti memerlukan interpretasi atau hermeuneutik.

Pendapat yang mengatakan bahwa Al qur’an adalah ” karya yang mendapat inspirasi Ilahi ” seperti juga Bible , jelas tidak dapat diterima oleh kaum muslimin . orang orang islam tidak pernah memahami bahwa Al qur’an itu sebuah karya, sehingga perlu hermeuneutika untuk memahami karya tersebut. sebaliknya pemikiran itu datang dari kaum orientalis yang mengecoh kaum muslimin agar menganggap Al qur’an itu karya Muhammad dan islam juga agama buatan Muhammad  alias Muhammadanism.         

Sudah tentu ketika teks teks Bible menjadi masalah , maka interpretasinyapun akan lebih bermasalah . Tidak mengherankan dalam hal ini Werner G. Jeanroad pernah berbicara mengenai ” krisis interpretasi Bible ” dan berharap bahwa hermeneutika dapat memberikan andil dalam mengatasinya .Jika hermeuneutika hermeuneutika itu ingin diterapkan untuk kajian Al qur’an , hermeuneutika mana yang harus diambil, lalu mengapa hanya mengambil hermeuneutika tertentu dan menolak yang lain ?kemudian apa jaminannya hermeuneutika yang diambil itu betul betul menunjukkan pengertian yang sebenarnaya mengenai  Al qur’an ? bukankah jika mengambil hermeuneutika tertentu , berarti itupun sudah masuk dalam ” school of thought ” tertentu , kalau begitu dimana obyektifitasnya ? dan masih banyak lagi persoalan persoalan yang lain.            

Amabil contoh Fazlur Rahman , dia lebih setuju pada heurmeuneutika Betti yang mengatakan bahwa makna asli suatu teks itu terletak pada konteks sejarah ketika teks itu ditulis , kalau begitu apa pula pendapat Fazlur Rahman mengenai kesimpulan filsafat hermeuneutika yang mengesahkan adanya problem besar ” hermeuneutika circle ” yaitu sejenis lingkaran syaitan pemahaman obyek obyek sejaran yang mengatakan bahwa ” jika interpretasi itu juga berdasarkan interpretasi , maka lingkaran interpretasi itu tak dapat dielakkan , akibatnya adalah pemahaman seseorang tentang teks teks dan kasus kasus sejarah yang tidak akan pernah sampai , karena apabila seseorang dapat memahami konteksnya , maka konteks sejarah itupun adalah interpretasi juga . apabila hal ini diterapkan pada Al qur’an , maka selama lamanya Al qur’an tidak akan pernah dimengerti dan difahami.           

Apabila filsafat hermeuneutika digunakan kepada Al qur’an maka yang muhkamat akan menjadi mutasyabihat , yang usul menjadi furu’, yang tsawabit menjadi mutaghayyirat , yang qat’iyy menjadi zanniyy, yang ma’lum menjadi majhul , yang ijma’ menjadi ikhtilaf , yang mutawattir menjadi ahad dan yakin akan menjadi zann, bahkan syakk, alasannya saja , yaitu filsafat hermeuneutika tidak membuat pengecualian terhadap hal hal yang axiomatic diatas.

Dalam posisi yang lebih ekstrem , filsafat hermeneutika telah memasuki dataran epistemologis yang berakhir pada pemahaman sophist yang bertentangan dengan pandangan hidup  islam ( islamic weltanscchauung ). Filsafat hermeneutika berujung pada kesimpulan universal bahwa ” all understanding is interpretation ” dan karena interpretasi itu tergantung kepada orangnya, maka hasil pemahaman ( Understanding, verstehen ) itupun menjadi subyektif. Dengan perkataan lain , tidak ada orag yang dapat memahami apa pun dengan secara obyektif. Apabila semua ini dikaitkan dengan kajian Al qur’an , maka akibatnya tidak ada kaum Muslimin yang mempunyai pemahaman yag sama megenai Al Qur’an , karena semua pemahaman itu tergantung pada interpretasi masing masing . Tetu kaum muslimin tidak bermaksud begitu apabila menafsir atau mena’wil Al Qur’an.

Surat Al -Ikhlas dalam Al -Qur’an , misalnya , dapat difahami dengan mudah oleh kaum muslimin bahwa Allah itu Esa, Allah tidak beranak dan diperanakkan, dan tidak ada yang setadingdengan Dia. Walaupun terdapat perbedaan pendalaman pemahama mengenai Tauhid antara orang awam , namun tidak ada seorang muslimpun yang mengatakan Allah itu satu di antara yang tiga atau tiga di antara yag satu.

Sebagai kesimpulan, hermeneutikanitu berbeda dengan tafsir ataupun takwil dalam tradisi islam. Hermeneutika tidak sesuai untuk kajian Al Qur’an , baik dalam arti teologis atau filosofis. Dalam arti teologis hermeneutika akan berakhir dalam mempersoalkan ayat ayat yang zahir dari Al qur’an dan menganggapnya sebagai problematik . Diantara kesan hermeneutika teologis ini adalah adanya keragu raguan terhadap Mushaf Usmani yang telah disepakati oleh seluruh kaum muslimin, baik oleh muslim sunni atau syi’ah , sebagai ” textus receptus “. keinginan Muhammad Arkoun , misalnya untuk men “deconstruct ” Mushaf Ustmani , adalah pengaruh dari hermeneutika teologis ini, selain dari pengaruh Jacques Derrida. Dalam artinya yang filosofis hermeneutika akan mementahkan kembali aqidah kaum muslimin yang berpegang bahwa Al qur’an adalah kalam Allah .Pendapat almarhum Fazlur Rahman yang mengatakan bahwa Al qur’an ” both the Word of God and the word of Muhammad adalah kesan dari hermeneutika filosofis ini.Semua itu tidak menguntungkan kaum muslimin , dan hanya menurunkan derajat validitas Al qur’an seolah olah sama dengan kitab yang lain .Kita khawatir akhir akhir ini kita begitu bergairah mengimpor istilah hermeneutika untuk kajian Al Qur’an tanpa menyelidiki terlebih dahulu latar belakang istilah itu sendiri yang mempunyai muuatan pandangan hidup berlainan dengan pandangan hidup islam.           

saya akan mengakhiri makalah ini dengan satu peringatan dari hadist Rasulullah saw yang berbunyi :

“Kamu akan mengikuti jalan jalan kaum sebelum kamu , sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal , sehingga apabila mereka masuk lubang biawak sekali pun kamu akan mengikutinya juga . Kemudian Rasulullah saw ditanya: “apakah mereka yang diikuti itu kaum Yahudi dan Nasara” Rasulullah menjawab: siapa lagi (kalau bukan mereka). (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Ahmad)

Wallahu A’lam bi al Showab.

Diringkas dari tulisan Ugi Suharto dalam majalah “TARJIH” (Jurnal Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam) edisi ke – 6.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *